KOMPAS.com- Majelis hakim Pengadilan Negeri Bekasi, Selasa (22/8/2011), memutuskan Bobby Derifianza (22) dan Afriska Prakarsa (22) terbukti bersalah mengonsumsi narkotika jenis ganja bersama-sama. Kedua terdakwa, mahasiswa Akademi Pimpinan Perusahaan di Jakarta, itu harus menjalani hukuman 2 tahun 8 bulan di pusat rehabilitasi yang ditunjuk oleh majelis hakim, yaitu Yayasan Nurul Jannah di Cikarang, Kabupaten Bekasi.
Bobby dan Afriska diputus telah melanggar Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengenai penggunaan narkotika secara bersama-sama.
Putusan itu memang lebih ringan daripada tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) yang 4 tahun. Namun, Bobby dan keluarga tidak berkenan dengan putusan majelis hakim. Keluarga tetap berkeyakinan Bobby tidak bersalah, bahkan si sulung dari tiga bersaudara itu sekadar korban fitnah terdakwa Afriska.
"Kami akan ajukan banding ke Pengadilan Tinggi Jawa Barat," kata Dewi Tanjung (45), ibunda Bobby, seusai sidang.
Akibat putusan itu, Bobby menjadi lesu dan sedih. Bayang-bayang dikeluarkan dari kampus menghantui pikiran pemuda berkulit putih ini saat dijenguk di ruang tahanan terdakwa peserta sidang di kantor Kejaksaan Negeri Bekasi di samping pengadilan seusai putusan. Bobby harus menyelesaikan studi Jurusan Manajemen Sumber Daya Manusia dengan tenggat waktu 2012.
Dengan putusan harus menjalani masa hukuman 2 tahun 8 bulan, tertutuplah kesempatan bagi Bobby menyelesaikan studi. Padahal, Bobby yang mulai kuliah pada 2007 tinggal selangkah lagi menyelesaikan kuliah. "Tinggal menyusun skripsi, tetapi jadi tidak ada harapan karena vonis," kata Bobby dari balik teralis besi.
Eriyanto (53), ayahanda Bobby, juga menjadi sedih sebab pupus sudah harapan si sulung menyelesaikan studi. "Vonis itu merusak masa depan anak saya," katanya.
Rekayasa
Orangtua dan kuasa hukum John Wilson Sijabat yakin Bobby adalah korban salah tangkap dan rekayasa Tim Satuan Narkoba Kepolisian Resor Kota Bekasi Kota. Alasannya, Bobby tidak memiliki ganja saat ditangkap di depan rumahnya di Perumahan Victoria Park Residence, Kelurahan Nusa Jaya, Kecamatan Karawaci, Kota Tangerang, 18 Desember 2010, pukul 23.30 WIB seusai mengantar teman kampus.
Lokasi penangkapan itu berbeda dengan yang dicantumkan oleh penyidik Polri dalam berita acara pemeriksaan (BAP) dan oleh jaksa penuntut umum dalam surat dakwaan. Dalam BAP dan surat dakwaan, Bobby disebut ditangkap di Jalan Raya Agus Salim di Kecamatan Bekasi Timur, Kota Bekasi, 18 Desember 2010, pukul 14.30 WIB saat bersama Afriska (terdakwa). Padahal, Afriska dalam persidangan mengakui ditangkap sendirian di Jalan Agus Salim. Pemuda ini kedapatan membawa satu linting ganja seberat 1,24 gram.
Afriska mengaku ganja itu dibeli dari seorang lelaki yang bandar narkotik yakni Rendy atas permintaan seorang perempuan muda bernama Destia. Bahkan, Afriska juga pernah mencabut BAP tentang keterlibatan Bobby dalam kepemilikan ganja. Artinya, Afriska menyatakan Bobby sebenarnya tidak terlibat. Namun, Afriska mengaku terpaksa menyeret Bobby karena takut dan gugup dalam pemeriksaan, sehingga salah menyebut nama orang terlibat.
Pemuda ini juga takut dengan bandar yang disebut Rendy serta pembeli yang menyuruh, yakni Destia. Dari pengakuan Afriska saat diperiksa bahwa ganja dibeli dari Bobby, penyidik kemudian mendatangi rumah dan menangkap Bobby.
"Kami amat kecewa sebab hakim mengabaikan banyak fakta yang seharusnya bisa melepaskan Bobby," kata John.
Fakta yang diabaikan adalah pencabutan BAP oleh Afriska, perbedaan data lokasi penangkapan oleh polisi antara berita acara penangkapan dan BAP serta surat dakwaan, keengganan penyidik Polri mengusut identitas atas nama Rendy dan Destia, dan pernyataan sejumlah saksi jaksa dan keluarga dalam persidangan bahwa Bobby tidak terlibat.
Dilaporkan
Putusan yang dinilai tidak adil itulah yang kemudian mendorong keluarga Bobby kian bersemangat memperjuangkan keadilan. Keluarga juga berusaha membongkar praktik dugaan rekayasa dan pemerasan oleh penyidik dan jaksa.
Pada 28 April 2011, Eriyanto melaporkan penyidik Satuan Narkoba Polres Kota Bekasi Kota ke Bidang Profesi dan Pengamanan Polda Metro Jaya. Keduanya ialah Ajun Komisaris S dan Brigadir Satu BM.
Dalam Surat Tanda Penerimaan Laporan Nomor STPL/44/IV/2011/YANDUAN bertanggal 28 April 2011 yang ditandatangani oleh Ajun Komisaris Nurhalimah, Kepala Urusan Penerimaan Laporan, S dan BM dilaporkan telah menyalahgunakan wewenang dan melakukan pungutan tidak sah untuk kepentingan pribadi, golongan, atau pihak lain.
Dewi mengatakan, kedua penyidik itu meminta uang agar sangkaan pada Bobby diubah dari bandar ganja menjadi pengguna ganja, sehingga tuntutan hukuman lebih ringan. Dewi mengakui terpaksa memberi uang senilai Rp 3,75 juta kepada S dan BM untuk memberi kenyamanan pada sang putra yang kian tertekan akibat penahanan sejak 18 Desember 2010 itu.
Dewi juga mengatakan sempat dimintai uang oleh jaksa penuntut umum kasus Bobby untuk meringankan tuntutan hukuman. Namun, permintaan jaksa itu tidak dipenuhi sebab keluarga saat itu tidak punya uang. "Kami akan adukan jaksa itu ke Kejaksaan Agung," katanya.
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Baharudin Djafar menyatakan, polisi yang menangkap dan menyidik perkara Bobby masih dalam proses pemeriksaan oleh Propam Polda Metro Jaya. Ditemukan indikasi tidak profesional saat penangkapan dan pemeriksaan atau penyidikan perkara Bobby.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar