10 September 2011

Berkualitas Tidak Harus Mahal

Oleh Thantowi Jauhari*

Jawa Pos (Mei 2004)

IDENTITAS utama manusia adalah gerak usaha untuk meneguhkan dirinya sebagai animal rational (al-hayawan al-nathiq; makhluk berakal). Itulah yang membedakan manusia dengan binatang yang lain. Semakin pandai seseorang, semakin teguh identitasnya sebagai manusia, karena dari situlah peradaban sebuah bangsa bisa diraih. Dalam konteks inilah, pendidikan menjadi satu syarat yang paling mendasar bagi kemajuan sebuah negara, karena dari situlah SDM-nya lahir.

Kenyataannya mengatakan lain. Tingkat pendidikan negara Indonesia masih jauh dibawah negera-negara tetangga. Berdasarkan riset Human Development Index (HDI) pada tahun 2002, kualitas pendidikan Indonesia menempati pada urutan ke-110 dari 173 negara yang disurvei. Alih-alih bersanding melawan kualitas pendidikan negara Singapura, Brunei, Malaysia, dan Thailand yang masing-masing berada pada urutan ke- 25, 32, 54, dan 70, pendidikan Indonesia justru berada di bawah Vietnam (ke-109).

Kemunduran pendidikan nasional kita memang tidak lepas dari sistem pendidikan yang tidak bermutu. Metode dan kurikulum pendidikan tidak bisa memberikan semangat kreativitas dan inovasi anak didik. Walhasil, tingkat kreativitas anak didik menjadi tumpul. Bayangkan, selain suervei HDI di atas, survei studi International Education Achiefment (IEA) di negara miskin dan berkembang, juga memaparkan kenyataan yang sangat mnyedihkan, yakni kemampuan membaca siswa SD di Indonesia menempati urutan ke-38 dari 49 negara yang disurvei.

Melihat kenyataan ini, reformulasi dan pembenahan sistem pendidikan secara radikal sudah semestinya harus dilakukan. Disinilah keberadaan sekolah unggulan diperlukan. Karena diharapkan sekolah unggulan bisa menjadi tempat alternatif atau semacam wahana untuk memperbaiki wajah pendidikan nasional kita. Sudah barang tentu, sekolah unggulan berarti unggul secara kualitas.

Akan tetapi sangat disayangkan, unggul secara kualitas tersebut kemudian meniscayakan keunggulan biaya. Bayangan untuk belajar di sekolah unggulan hanya menjadi mimpi bagi mereka yang kurang modal. Sehingga, image sekolah unggulan sebagai sekolah yang bonafit dan wah lebih melekat daripada sisi kualitasnya. Banyak anak-anak cerdas yang bercita-cita masuk – bahkan lulus tes -- sekolah unggulan, namun orang tuanya mengurungkan niat itu ketika dibenturkan dengan faktor biaya. Dus, sekolah unggulan tidak hanya unggul dalam kualitas saja, tetapi unggul juga biayanya.

Kondisi semacam ini tentu sangat bertolak belakang dengan realitas sosial-ekonomi masyarakat Indonesia yang mayoritas berada di bawah garis kemiskinan. Sebagai negara miskin dan berkembang sangat tidak pantas jika sekolah-sekolah lantas memakan biaya besar atau mahal. Seolah yang boleh cerdas hanyalah orang-orang kaya, sedangkan masyarakat miskin dilarang untuk cerdas karena keterbatasan akses kapital. Padahal semua lapisan masyarakat tanpa diskriminasi memiliki hak yang sama dalam mengakses pendidikan.

Pada dasarnya banyak sebab mengapa sekolah unggulan cenderung menjadi mahal. Salah satunya adalah melekatnya paradigma dangkal-diskriminatif masyarakat kita dalam memandang biaya pendidikan. Untuk membangun kualitas sekolah, maka dibutuhkan sebuah dana yang besar. Secara kasat mata pandangan ini memang benar. Yakni, kita butuh dana untuk menyiapkan infrastruktur yang bisa menunjang kemajuan kualitas pendidikan. Persoalannya adalah apakah semua biaya itu dibebankan kepada masyarakat ?. Lantas bagaimana dengan masyarakat miskin yang tidak memiliki modal kapital ?.

Salah satu media cetak terbitan ibukota memberitakan bahwa, di daerah Gunungkidul, Daerah Istimewa Jogjakarta, ada sekitar 14.321 siswa SD-SMP yang terancam DO (drof out) karena mereka tidak memiliki biaya untuk melanjutkan sekolah. Bisa dibayangkan, siswa SD-SMP yang ada saat ini dan merupakan generasi anak bangsa untuk membangun Indonesia masa depan, tidak bisa mengakses pendidikan karena kurang biaya. Rakyat miskin dilarang sekolah.

Pada sisi yang lain, negera/pemerintah terkesan cuci tangan dengan persoalan ini. Padahal secara hukum (baca; UUD 1945) dan moral, persoalan pendidikan merupakan tanggung jawab penuh negara. Upaya ini misalkan sangat tampak di dalam penerapan otonomi kampus (PP. No.61/1999), membebaskan peran dan tanggung jawab pemerintah dalam menyubsidi kampus. Dus, kenaikan biayapun tek terelakkan. Mahasiswa UI misalkan, harus membayar dana peningkatan kualitas pendidikan (DPKP) sebesar 1 juta untuk eksakta yang harus dibayar setiap semester selain SPP dan DKFM.

Oleh karena itu, sekolah unggulan tidak musti harus mahal, disamping sangat bertolak belakang dengan konteks bangsa Indonesia yang mayoritas penduduknya miskin, juga akan menciptakan kesenjangan yang curam antara si miskin dan si kaya. Menciptakan kualitas memang mebutuhkan biaya, tetapi mana mungkin rakyat akan menanggung semua. Bagaimanapun pendidikan harus tetap murah dan negara harus memberikan perhatian yang serius untuk itu.

*Thantowi Jauhari, Mahasiswa FIA_Negara Universitas Brawijaya, dan aktif sebagai Ketua Tim Penanggulangan Penyalahgunaan NAPZA & HIV /AIDS

MENGABDI (BUKAN) DEMI IMBALAN
Oleh :
Tantowi Jauhari*




Tidak selamanya cita ideal (das sollen)–untuk tidak mengatakan sering bertolakbelakang sama sekali–berjalan seirama dengan realitas faktual (das sein). Seperti bayangan yang kerap kali bertolak belakang dengan kenyataan dilapangan. Ketidakseimbangan (disekuelibrium) bayangan dengan kenyataan itulah yang terjadi dengan bayangan kita terhadap mahasiswa.
Selama ini mahasiswa sering disebut sebagai agen of change, kritis, progresif, dan memiliki kepekaan sosial yang tinggi. Pada satu sisi anggapan itu tidak salah sepenuhnya, karena deskripsi sejarah mengatakan demikian. Hampir dalam setiap perubahan kaum muda ( mahasiswa) tidak pernah absen ikut andil dalam tiap etape di negeri ini. Revolusi kemerdekaan 1945 atau reformasi 1998 adalah bagian dari contoh itu.
Sekalipun demikian, bayangan itu tidak sepenuhnya benar. Kalau mau jujur, mahasiswa yang memiliki kepedulian tersebut merupakan masyarakat minoritas di kampus. Selebihnya adalah pemuda--maaf--generasi anak ingusan.
Pemuda (mahasiswa) kini sedikit banyak sudah berbeda dengan pemuda tempo dulu. Jika mahasiswa tempo dulu mengangkat pena, menguras pikiran dan tenaga, segalanya diperuntukkan untuk rakyat, bangsa dan Negara. Tetapi, pemuda sekarang mengangkat pena hanya untuk dirinya sendiri. Alih-alih belajar sungguh-sungguh sekalipun untuk dirinya sendiri, mahasiswa kini justru terjebak oleh budaya hedonisme materialistik; shoping, bahkan sampai menjadi pengguna/pengedar narkoba dan seks bebas. Dus, pengabdian pun termotivasi oleh imingan imbalan materi.
Oleh karena itu, tampaknya mengherankan seorang mahasiswa yang rela mengabdikan diri sepenuhnya untuk kemanusiaan; peka terhadap masalah sosial, ibarat mimpi disiang bolong. Kalupun toh ada, dia adalah mahasiswa mainstream.
Tengok saja saat media masa menampilkan wajah-wajah suram serta tangis derita para korban bencana yang membutuhkan uluran tangan; korban Lumpur Lapindo, musibah tanah longsor di Karanganyar, banjir di Bojonegoro dll. Saat bersamaan juga, puluhan mahasiswa terlibat pesta narkoba. Itulah kenyataan tentang mahasiswa yang kini sudah berbeda dengan bayangan / cita ideal. Sebuah ironi bagi kondisi masyarakat yang banyak membutuhkan tenaga kaum muda sebagai relawan sosial.
Kenyataan itulah yang harus menjadi refleksi kita bersama, khususnya bagi kaum muda. Mengabdikan diri bagi kemanusiaan tidak hanya merupakan tuntutan, tetapi juga menjadi identitas primer yang seyogyanya melekat pada diri mahasiswa itu sendiri.
Sekalipun demikian, mahasiswa bukanlah produk jadi yang tercipta dengan sendirinya, tetapi mahasiswa di ciptakan oleh sebuah sistem yang-sengaja atau tidak sengaja- mampu mematok dan mengubah pandangan mahasiswa dalam melihat kehidupan.
Dalam hal ini secara mikro, krirtik terhadap sistem pendidikan yang diterapkan Perguruan Tinggi niscaya dilayangkan. Tri Dharma Perguruan Tinggi ( belajar, mengajar, penelitian dan pengabdian pada masyarakat) untuk saat ini masih dimaknai secara terpisah.
Orientasi utama pendidikan Perguruan Tinggi lebih menekankan pada aspek pengembangan akademis. Walhasil, keberhasilan Perguruan Tinggi selalu diukur dalam perspektif Indek Kumulatif (IP) an sich yang diperoleh mahasiswa. Sistem pendidikan inilah yang menciptkan mahasiswa sebagai mahluk parsial, sehingga kesadaran sosial itu tidak ditanamkan dalam dirinya.
Menerapkan sistem seperti itu tentu akan menciptakan mahasiswa sebaga insan-insan akademis yang individual dan tidak peka sosial, sebagai mana fenomena mahasiswa yang Kuliah Kerja Nyata (KKN) misalnya, yang benar-benar termotivasi oleh semangat pengabdian pada masyarakat bisa dihitung dengan jari atau bahkan tidak ada sama sekali. Tujuan utamanya adalah mengejar nilai semata. Motivasi ini terus tertanam. Mengabdi pada masyarakat demi mengejar imbalan, tidak murni atas panggilan nurani.
Sistem pendidikan yang menekan keberhasilan hanya pada aspek akademis ini harus di geser ke paradigma itegratif, yakni membangun mahasiswa sebagai insan akademis, pencipta dan pengabdi. Ketiga hal ini harus menjadi standar keberhasilan Perguruan Tinggi. Membangun mahasiswa dengan melucuti sebagian dari entitas itu, menandakan kegagalan Perguruan Tinggi. Saya yakin jika integritas itu dilakukan ( bukan sekedar retorika), para pengabdi, martir, ataupun mujahid yang siap mengorbankan pikiran dan tenaganya untuk masyarakat akan lahir dari kampus-kampus.
Selain itu diperlukan gerakan massif yang sistematis dari kalangan mahasiswa organik untuk melakukan penyadaran sosial kepada mahasiswa sebagai kekuatan meta-sistem. dengan reformasi sistem pendidikan Perguruan Tinggi di satu sisi penopangan gerakan penyadaran dari meta-sistem diharapkan menjadi satu kekuatan besar dalam membentuk intelektual yang tidak hanya sesuai dengan bayangan ( baca; agent of social change), tetapi memunculkan pahlawan-pahlawan muda sosial yang siap mengabdikan dirinya kepada kemanusiaan tanpa balas jasa.


*Tantowi Jauhari, Pegiat TEGAZS (Tim Penanggulangan Penyalahgunaan NAPZA & HIV/AIDS) Unibraw




_____O_____