MENGABDI (BUKAN) DEMI IMBALAN
Oleh :
Tantowi Jauhari*
Oleh :
Tantowi Jauhari*
Tidak selamanya cita ideal (das sollen)–untuk tidak mengatakan sering bertolakbelakang sama sekali–berjalan seirama dengan realitas faktual (das sein). Seperti bayangan yang kerap kali bertolak belakang dengan kenyataan dilapangan. Ketidakseimbangan (disekuelibrium) bayangan dengan kenyataan itulah yang terjadi dengan bayangan kita terhadap mahasiswa.
Selama ini mahasiswa sering disebut sebagai agen of change, kritis, progresif, dan memiliki kepekaan sosial yang tinggi. Pada satu sisi anggapan itu tidak salah sepenuhnya, karena deskripsi sejarah mengatakan demikian. Hampir dalam setiap perubahan kaum muda ( mahasiswa) tidak pernah absen ikut andil dalam tiap etape di negeri ini. Revolusi kemerdekaan 1945 atau reformasi 1998 adalah bagian dari contoh itu.
Sekalipun demikian, bayangan itu tidak sepenuhnya benar. Kalau mau jujur, mahasiswa yang memiliki kepedulian tersebut merupakan masyarakat minoritas di kampus. Selebihnya adalah pemuda--maaf--generasi anak ingusan.
Pemuda (mahasiswa) kini sedikit banyak sudah berbeda dengan pemuda tempo dulu. Jika mahasiswa tempo dulu mengangkat pena, menguras pikiran dan tenaga, segalanya diperuntukkan untuk rakyat, bangsa dan Negara. Tetapi, pemuda sekarang mengangkat pena hanya untuk dirinya sendiri. Alih-alih belajar sungguh-sungguh sekalipun untuk dirinya sendiri, mahasiswa kini justru terjebak oleh budaya hedonisme materialistik; shoping, bahkan sampai menjadi pengguna/pengedar narkoba dan seks bebas. Dus, pengabdian pun termotivasi oleh imingan imbalan materi.
Oleh karena itu, tampaknya mengherankan seorang mahasiswa yang rela mengabdikan diri sepenuhnya untuk kemanusiaan; peka terhadap masalah sosial, ibarat mimpi disiang bolong. Kalupun toh ada, dia adalah mahasiswa mainstream.
Tengok saja saat media masa menampilkan wajah-wajah suram serta tangis derita para korban bencana yang membutuhkan uluran tangan; korban Lumpur Lapindo, musibah tanah longsor di Karanganyar, banjir di Bojonegoro dll. Saat bersamaan juga, puluhan mahasiswa terlibat pesta narkoba. Itulah kenyataan tentang mahasiswa yang kini sudah berbeda dengan bayangan / cita ideal. Sebuah ironi bagi kondisi masyarakat yang banyak membutuhkan tenaga kaum muda sebagai relawan sosial.
Kenyataan itulah yang harus menjadi refleksi kita bersama, khususnya bagi kaum muda. Mengabdikan diri bagi kemanusiaan tidak hanya merupakan tuntutan, tetapi juga menjadi identitas primer yang seyogyanya melekat pada diri mahasiswa itu sendiri.
Sekalipun demikian, mahasiswa bukanlah produk jadi yang tercipta dengan sendirinya, tetapi mahasiswa di ciptakan oleh sebuah sistem yang-sengaja atau tidak sengaja- mampu mematok dan mengubah pandangan mahasiswa dalam melihat kehidupan.
Dalam hal ini secara mikro, krirtik terhadap sistem pendidikan yang diterapkan Perguruan Tinggi niscaya dilayangkan. Tri Dharma Perguruan Tinggi ( belajar, mengajar, penelitian dan pengabdian pada masyarakat) untuk saat ini masih dimaknai secara terpisah.
Orientasi utama pendidikan Perguruan Tinggi lebih menekankan pada aspek pengembangan akademis. Walhasil, keberhasilan Perguruan Tinggi selalu diukur dalam perspektif Indek Kumulatif (IP) an sich yang diperoleh mahasiswa. Sistem pendidikan inilah yang menciptkan mahasiswa sebagai mahluk parsial, sehingga kesadaran sosial itu tidak ditanamkan dalam dirinya.
Menerapkan sistem seperti itu tentu akan menciptakan mahasiswa sebaga insan-insan akademis yang individual dan tidak peka sosial, sebagai mana fenomena mahasiswa yang Kuliah Kerja Nyata (KKN) misalnya, yang benar-benar termotivasi oleh semangat pengabdian pada masyarakat bisa dihitung dengan jari atau bahkan tidak ada sama sekali. Tujuan utamanya adalah mengejar nilai semata. Motivasi ini terus tertanam. Mengabdi pada masyarakat demi mengejar imbalan, tidak murni atas panggilan nurani.
Sistem pendidikan yang menekan keberhasilan hanya pada aspek akademis ini harus di geser ke paradigma itegratif, yakni membangun mahasiswa sebagai insan akademis, pencipta dan pengabdi. Ketiga hal ini harus menjadi standar keberhasilan Perguruan Tinggi. Membangun mahasiswa dengan melucuti sebagian dari entitas itu, menandakan kegagalan Perguruan Tinggi. Saya yakin jika integritas itu dilakukan ( bukan sekedar retorika), para pengabdi, martir, ataupun mujahid yang siap mengorbankan pikiran dan tenaganya untuk masyarakat akan lahir dari kampus-kampus.
Selain itu diperlukan gerakan massif yang sistematis dari kalangan mahasiswa organik untuk melakukan penyadaran sosial kepada mahasiswa sebagai kekuatan meta-sistem. dengan reformasi sistem pendidikan Perguruan Tinggi di satu sisi penopangan gerakan penyadaran dari meta-sistem diharapkan menjadi satu kekuatan besar dalam membentuk intelektual yang tidak hanya sesuai dengan bayangan ( baca; agent of social change), tetapi memunculkan pahlawan-pahlawan muda sosial yang siap mengabdikan dirinya kepada kemanusiaan tanpa balas jasa.
*Tantowi Jauhari, Pegiat TEGAZS (Tim Penanggulangan Penyalahgunaan NAPZA & HIV/AIDS) Unibraw
_____O_____
Tidak ada komentar:
Posting Komentar